Rabu, 03 April 2019

Izinkan Aku Menjagamu


Pagi itu adalah pagi ketika aku baru pulang dari perantauan dalam mencari ilmu. Setelah mandi dan menyegarkan badan aku pun melangkah keluar rumah menuju pekarangan yang begitu asri seperti biasa. Udaranya sejuk, segar dan membuat jiwa ini menjadi tenang. Burung-burung saling bersahutan tak mau kalah menunjukkan semangat hidupnya. Cahaya matahari masih malu menampakkan diri, sesekali mengintip dari balik awan yang putih yang menutupi langit yang biru. Inilah suasana yang selama ini sangat ku rindukan. Jika ku menoleh ke depan, ku melihat pohon dan gunung yang berjejer rapi, dan pemandangan bukit yang terletak disebelah kanan, serta hal yang paling membuatku tenang adalah seorang wanita tegar yang sedang semangat menyapu halaman dan mencabuti satu persatu rerumputan liar yang tumbuh di luar pekarangan. Yah dialah ibuku.

Pagi itu aku menghampiri ibu, membantunya membersihkan halaman. Pot-pot bunga dipinggir jalan diluar pekarangan terlihat ditumbuhi semak-semak liar. Dengan semangat aku membersihkannya satu per satu, hingga sesekali orang-orang disekitar rumahku hilir mudik berlalu lalang dihadapan. Banyak wajah-wajah baru yang tak ku kenali, mungkin karena aku sudah jarang menghabiskan waktu untuk pulang seperti kala itu, sehingga orang yang baru pindah kesana aku pun tak tahu.

Matahari semakin meninggi. Rerumputan yang mengganas kami cabut dari tempat ia tumbuh, satu per satu bunga kami bersihkan bersama. Ibu mencabuti rumput, aku menyapunya perlahan sambil menaruhnya dalam karungan sampah. Hingga suatu ketika kami membersihkan beberapa bunga kertas yang ranum, ibuku memberikan nasihatnya padaku. Bunga ini, adalah bunga kertas. Ibu salut dengannya. Meskipun ibu jarang menyiramnya, meski ibu taruh ia di pinggir jalan, meski semua daun dan bunganya telah gugur hingga meninggalkan rantingnya, dan meski ia terlihat seperti telah mati, namun ketika ia kita siram sekali saja, keesokan hari ia akan mulai menumbuhkan tunas-tunasnya, memperlihatkan keanggunan bunga-bunganya dan terlihat seperti hidup kembali. Namun ingat, ia juga mempunyai duri yang tajam. Jangan macam-macam dengannya, jika kau tak ingin terluka. Begitulah kita seharusnya di dunia. Meski kita terkadang ditimpa musibah dan cobaan yang sulit, meskipun kita kehilangan segala hal yang kita miliki dan bahkan di saat kita pesimis untuk bisa bertahan hidup, maka ketika kita memiliki kesempatan sekali saja, maka tumbuhlah dengan perkasa seperti bunga kertas ini. Jangan pernah biarkan siapapun mempermainkan hidupmu, tunjukkanlah ‘kemampuanmu’ dengan perbuatan nyata, hingga suatu saat kau bisa tumbuh kembali dengan tegarnya. Inilah ia, bunga kertas ini.

Kalimat demi kalimat yang beliau ucapkan pagi itu sungguh telah menggetarkan hatiku. Ia seakan menceritakan kehidupannya sendiri di hadapanku. Aku tahu, ibuku adalah wanita paling tegar yang pernah aku temui didunia ini. Sungguh panjang cerita dan kisah hidupnya, beberapa diantaranya sungguh diluarbatas ketegaran manusia biasa. Dan dari kisahnyalah aku terus belajar dan belajar menghadapi kehidupanku yang sekarang. Inilah dia. Ibuku sama seperti kertas ini, gumamku dalam hati. Hingga pagi itu mataku begitu lama menatap bunga itu, hingga tersadar rerumputan sudah tercabut dari tanahnya. Entah bisikan siapa yang terdengar dari telingaku, yang mengatakan bahwa aku harus menjaga bunga-bunga ini sampai aku mati, meskipun aku telah kehilangan ibuku suatu saat nanti. Sungguh, mungkin hanya dengan beginilah kenangan itu akan tetap ada di dalam hatiku, dan aku akan merasakan keberadaannya, lewat keberadaan bunga-bunga kertas ini. Aku berjanji akan menjaga bunga ini selamanya dengan cinta dan kasih sayang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Puisi

Surat yang Tak Tersampaikan   Oleh : Yuliana   Surat itu tersirat bagaikan debu Yang tak dapat kulampiaskan satu persatu Namun ku coba...